BAB I
PEDOMAN UMUM
Pasal 1
PENGERTIAN
1.
KODE ETIK PSIKOLOGI adalah seperangkat nilai-nilai untuk
ditaati dan dijalankan dengan sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai
psikolog dan ilmuwan psikologi di Indonesia.
2.
PSIKOLOGI merupakan ilmu yang berfokus pada perilaku dan proses
mental yang melatarbelakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia. Ahli
dalam ilmu Psikologi dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu profesi atau yang
berkaitan dengan praktik psikologi dan ilmu psikologi termasuk dalam hal ini
ilmu murni atau terapan.
3.
PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesional yang berkaitan
dengan praktik psikologi dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi
lulusan program pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama
atau yang mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari
pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2) pendidikan Psikolog. Psikolog
memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi
bidang-bidang praktek klinis dan konseling; penelitian; pengajaran; supervisi
dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan; intervensi sosial
dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen;
konseling karir dan pendidikan; konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas
dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; dan administrasi.
Psikolog DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN
PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4.
ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi dengan latar
belakang pendidikan strata 1 dan atau strata 2 dan atau strata 3 dalam bidang
psikologi. Ilmuwan psikologi memiliki kewenangan untuk memberikan layanan
psikologi yang meliputi bidang-bidang penelitian; pengajaran; supervisi dalam
pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial;
pengembangan instrumen asesmen psikologi; pengadministrasian asesmen;
konsultasi organisasi; perancangan dan evaluasi program. Ilmuwan Psikologi
dibedakan dalam kelompok ilmu murni (sains) dan terapan.
5.
LAYANAN PSIKOLOGI adalah segala aktifitas pemberian jasa dan praktek
psikologi dalam rangka menolong individu dan atau kelompok yang dimaksudkan
untuk pencegahan, pengembangan dan penyelesaian masalah-masalah psikologis.
Layanan psikologi dapat berupa praktek konseling dan psikoterapi; penelitian;
pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan
kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen
psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling karir dan pendidikan; konsultasi
organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi
program; dan administrasi.
Pasal 2
PRINSIP UMUM
Prinsip A : Penghormatan pada Harkat
Martabat Manusia
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi harus menekankan pada hak asasi manusia dalam melaksanakan
pelayanan psikologi.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi menghormati martabat setiap orang serta hak-hak individu akan
keleluasaan pribadi, kerahasiaan dan pilihan pribadi seseorang.
(3)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa diperlukan kehati-hatian khusus untuk
melindungi hak dan kesejahteraan individu atau komunitas yang karena
keterbatasan yang ada dapat mempengaruhi otonomi dalam pengambilan keputusan.
(4)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi menyadari dan menghormati perbedaan budaya, individu dan
peran, termasuk usia, gender, identitas gender, ras, suku bangsa, budaya, asal
kebangsaan, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), bahasa dan
status sosial-ekonomi, serta mempertimbangkan faktor-faktor tersebut pada saat
bekerja dengan orang-orang dari kelompok tersebut.
(5)
Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi berusaha untuk menghilangkan pengaruh bias faktor-faktor tersebut
pada butir (3) dan menghindari keterlibatan baik yang disadari maupun tidak
disadari dalam aktifitas-aktifitas yang didasari oleh prasangka.
Prinsip B: Integritas dan Sikap
Ilmiah
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi harus mendasarkan pada dasar dan etika ilmiah terutama pada
pengetahuan yang sudah diyakini kebenarannya oleh komunitas psikologi.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi senantiasa menjaga ketepatan, kejujuran, kebenaran dalam
keilmuan, pengajaran, pengamalan dan praktik psikologi.
(3)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi tidak mencuri, berbohong, terlibat pemalsuan (fraud),
tipuan atau distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja
memberikan fakta-fakta yang tidak benar.
(4)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi berupaya untuk menepati janji tetapi dapat mengambil
keputusan tidak mengungkap fakta secara utuh atau lengkap HANYA dalam situasi
dimana tidak diungkapkannya fakta secara etis dapat dipertanggungjawabkan untuk
meminimalkan dampak buruk bagi pengguna jasa atau praktik psikologi.
(5)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kebutuhan, konsekuensi
dan bertanggung jawab untuk memperbaiki ketidak-percayaan atau akibat buruk
yang muncul dari penggunaan teknik psikologi yang digunakan.
Prinsip C : Profesional
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan segala bentuk
pelayanan psikologi, penelitian, pengajaran, pelatihan, jasa dan praktik
psikologi dengan menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi,
obyektif dan integritas.
(2)
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi membangun
hubungan yang didasarkan pada adanya saling percaya, menyadari tanggungjawab profesional dan
ilmiah terhadap pengguna layanan psikologi serta komunitas khusus lainnya.
(3)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban profesional,
mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka, berupaya untuk
mengelola berbagai konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan
dampak buruk.
(4)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi, bekerjasama dan atau merujuk pada teman
sejawat, profesional lain dan atau institusi-institusi lain untuk memberikan
pelayanan terbaik kepada pengguna layanan psikologi.
(5)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi perlu mempertimbangkan dan memperhatikan kepatuhan etis dan
profesional kolega-kolega dan atau profesi lain.
(6)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi dalam situasi tertentu bersedia untuk menyumbangkan sebagian
waktu profesionalnya tanpa atau dengan sedikit kompensasi keuntungan pribadi.
Prinsip D : Keadilan
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi memahami bahwa kejujuran dan ketidakberpihakan adalah hak
setiap orang. Oleh karena itu, pengguna jasa dan atau praktik psikologi tanpa
dibedakan oleh latarbelakang dan karakteristik khususnya, harus mendapatkan
layanan dan memperoleh keuntungan dalam kualitas yang setara dalam hal proses,
prosedur dan layanan yang dilakukan.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi menggunakan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan secara
profesional, waspada dalam memastikan kemungkinan bias-bias yang muncul, mempertimbangkan
batas dari kompetensi, dan keterbatasan keahlian sehingga tidak mengabaikan
atau mengarah kepada praktik-praktik yang menjamin
ketidakberpihakan.
Prinsip E : Manfaat
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi berusaha maksimal memberikan manfaat pada kesejahteraan umat manusia, perlindungan hak dan mempertimbangkan
mengurangi resiko dampak buruk tidak mengakibatkan dampak buruk bagi pengguna layanan
psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi apabila terjadi konflik perlu menghindari serta meminimalkan
akibat atau dampak buruk; karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak-pihak lain.
(3)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap kemungkinan adanya faktor-faktor
pribadi, keuangan, sosial, organisasi maupun politik yang mengarah pada
penyalahgunaan atas pengaruh mereka.
BAB II
MENGATASI ISU ETIKA
Pasal 3
MAJELIS
PSIKOLOGI INDONESIA
(1)
Majelis Psikologi adalah
penyelenggara organisasi yang memberikan pertimbangan etis, normatif maupun
keorganisasian dalam kaitan dengan
profesi psikologi baik sebagai ilmuwan maupun praktik psikologi kepada anggota
maupun organisasi.
(2)
Penyelesaian masalah
pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia oleh Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi, dilakukan oleh Majelis Psikologi dengan memperhatikan laporan yang
masuk akal dari berbagai pihak dan kesempatan untuk membela diri.
(3)
Apabila terdapat masalah
etika dalam pemberian jasa dan atau praktik psikologi yang belum diatur dalam
kode etik psikologi Indonesia maka Himpunan Psikologi Indonesia wajib
mengundang Majelis Psikologi untuk membahas dan merumuskannya, kemudian disahkan
dalam sebuah Rapat yang dimaksudkan untuk itu.
Pasal 4
PENYALAHGUNAAN
PEKERJAAN DI BIDANG PSIKOLOGI
(1)
Setiap pelanggaran
wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap pelanggaran terhadap Kode Etik
Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi organisasi oleh sebagaimana diatur
dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan Psikologi Indonesia dan
Kode Etik Psikologi Indonesia
(2)
Apabila
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menemukan pelanggaran atau penilaian salah
terhadap kerja mereka, mereka mengambil langkah-langkah yang masuk akal sesuai
dengan ketentuan yang berlaku untuk memperbaiki atau mengurangi pelanggaran
atau kesalahan yang terjadi:
(3)
Pelanggaran kode etik
psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang telah dirumuskan
dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran
oleh Psikolog terhadap janji / sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan
oleh Psikolog yang tidak memiliki Ijin Praktik, serta layanan psikologi yang
menyimpang dari ketentuan yang berlaku dalam Kode Etik Psikologi Indonesia.
Pelanggaran sebagaimana dimaksud di atas
adalah:
a)
Pelanggaran ringan yaitu:
Tindakan yang dilakukan oleh seorang Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
yang tidak dalam kondisi yang sesuai dengan standar prosedur yang telah
ditetapkan, sehingga mengakibatkan kerugian.
b)
Pelanggaran sedang yaitu:
Tindakan
yang dilakukan oleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi karena kelalaiannya
dalam melaksanakan proses maupun penanganan yang tidak sesuai dengan standar
prosedur yang telah ditetapkan mengakibatkan kerugian bagi salah satu tersebut
di bawah ini:
i.
Ilmu psikologi
ii.
Profesi Psikologi
iii.
Pengguna Jasa dan atau Praktik Psikologi
iv.
Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v.
Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya.
c)
Pelanggaran berat yaitu:
Tindakan
yang dilakukan oleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang secara sengaja
memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang mengakibatkan kerugian bagi salah
satu di bawah ini:
i. Ilmu Psikologi
ii. Profesi Psikologi
iii. Pengguna Jasa dan atau Praktik Psikologi
iv. Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
v. Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya
(4). Penjelasan tentang jenis pelanggaran dan sanksi akan diatur dalam
aturan
tersendiri.
Pasal 5
PENYELESAIAN ISU
ETIKA
(1)
Apabila tanggungjawab etika psikologi
bertentangan dengan peraturan hukum, hukum pemerintah atau peraturan lainnya, Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi harus menunjukkan komitmennya terhadap kode etik dan melakukan
langkah-langkah untuk penyelesaian konflik sesuai dengan yang diatur dalam Kode
Etik Psikologi Indonesia. Apabila konflik tidak dapat diselesaikan dengan cara
tersebut, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi diharapkan patuh terhadap
tuntutan hukum, peraturan atau otoritas hukum lainnya yang berlaku.
(2)
Apabila tuntutan organisasi dimana Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi berafiliasi atau bekerja bertentangan dengan Kode
Etik Psikologi Indonesia, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib menjelaskan sifat dan jenis
konflik, memberitahu komitmennya terhadap kode etik dan jika memungkinkan
menyelesaikan konflik tersebut dengan berbagai cara sebagai bentuk
tanggung jawab dan kepatuhan terhadap kode etik
(3)
Pelanggaran terhadap etika profesi psikologi
dapat dilakukan oleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi, perorangan,
organisasi pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak
lain. Pelaporan pelanggaran ditujukan kepada Himpunan Psikologi Indonesia untuk
nantinya diserahkan kepada Majelis Psikologi Indonesia. Mekanisme pelaporan secara detail akan diatur dalam
mekanisme tersendiri.
(4)
Psikolog
tidak melaporkan atau menganjurkan melaporkan keluhan atau pelanggran etika
secara tergesa-gesa atau secara sengaja mengabaikan fakta-fakta yang ada.
(5)
Kerjasama
antara Pengurus Himpsi dan Majelis Psikologi
Indonesia menjadi bahan pertimbangan dalam penyelesaian kasus pelanggaran Kode
Etik. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam pelaksanaan tindakan
investigasi, proses penyidikan dan persyaratan yang diperlukan untuk dapat
mencapai hasil yang diharapkan dengan memanfaatkan sistem di dalam organisasi yang ada. Dalam
pelaksanaannya diusahakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan
tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.
(6)
Apabila terjadi pelanggaran
Kode Etik Psikologi Indonesia, Pengurus Pusat bekerjasama dengan Pengurus
Wilayah terkait dapat memberi masukan kepada Majelis Psikologi Wilayah atau
Pusat dengan prosedur sebagai berikut:
a.
Mengadakan pertemuan
guna membahas masalah tersebut.
b.
Meminta klarifikasi
kepada pihak yang melakukan pelanggaran
c.
Berdasarkan klarifikasi
menentukan jenis pelanggaran
(7)
Majelis
Psikologi akan melakukan klarifikasi pada anggota yang dipandang
melakukan pelanggaran. Berdasarkan keterangan anggota yang bersangkutan dan data-data lain
yang berhasil dikumpulkan, maka Majelis Psikologi akan mengambil
keputusan tentang permasalahan pelanggaran tersebut.
(8)
Apabila
dipandang perlu, Pengurus Pusat bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait
dapat mendampingi Majelis Psikologi dalam pertemuannya untuk membahas masalah
tersebut, juga dalam menyampaikan putusan majelis, baik kepada anggota yang
bersangkutan maupun untuk diumumkan sesuai dengan kepentingannya.
Pasal 6
DISKRIMINASI YANG TIDAK ADIL TERHADAP KELUHAN DAN
RESPONDEN
Himpunan
Psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi tidak
menolak siapapun yang mengeluh karena terkena pelanggaran etika yang didasarkan
pada fakta-fakta yang jelas dan masuk akal.
BAB III
KOMPETENSI
Pasal 7
RUANG LINGKUP KOMPETENSI
(1)
Ilmuwan Psikologi
memberikan jasa dalam bentuk mengajar, melakukan penelitian dan atau intervensi
sosial dalam area sebatas kompetensinya, berdasarkan pendidikan, pelatihan atau
pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(2)
Psikolog dapat
memberikan jasa sebagaimana yang dilakukan oleh Ilmuwan Psikologi serta secara
khusus dapat melakukan praktik psikologi terutama yang berkaitan dengan
psikoterapi setelah memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi yang berdasarkan
pendidikan, pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah dan atau
pengalaman profesional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(3)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isue atau cakupan kasus-kasus
khusus, misalnya terkait penanganan HIV / AIDS, kekerasan berbasis gender,
orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan
khusus), atau yang terkait dengan kekhususan ras, suku, budaya, asli
kebangsaan, agama, bahasa atau kelompok marginal, penting untuk mengupayakan
penambahan pengetahuan dan ketrampilan melalui berbagai cara seperti pelatihan,
pendidikan khusus, konsultasi atau supervisi terbimbing untuk memastikan
kompetensi dalam memberikan pelayanan jasa
dan atau praktik psikologi yang dilakukan kecuali dalam situasi darurat sesuai
dengan pasal yang membahas tentang itu.
(4)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi perlu menyiapkan langkah-langkah yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam area-area yang belum memiliki standar baku
penanganan, guna melindungi pengguna jasa dan atau praktik psikologi serta
pihak lain yang terkait.
(5)
Dalam menjalankan peran
forensik, selain memiliki kompetensi praktik psikologi sebagaimana tersebut di
atas, Psikolog perlu mengenali peraturan-peraturan hukum sehubungan dengan
kasus yang ditangani dan peran yang dijalankan.
Pasal 8
PENINGKATAN KOMPETENSI
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi wajib melaksanakan upaya-upaya yang berkesinambungan guna
mempertahankan dan meningkatkan kompetensi mereka.
Pasal 9
DASAR-DASAR PENGETAHUAN ILMIAH dan SIKAP PROFESIONAL
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam pengambilan keputusan harus
berdasar pada pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang sudah teruji dan
diterima secara luas atau universal dalam disiplin ilmu psikologi.
Pasal 10
PENDELEGASIAN PEKERJAAN PADA ORANG LAIN
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi yang mendelegasikan pekerjaan pada asisten, mahasiswa,
mahasiswa yang disupervisi, asisten penelitian, asisten pengajaran, atau kepada
jasa orang lain seperti penterjemah; perlu mengambil langkah-langkah yang tepat
untuk:
a) menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang yang memiliki
hubungan ganda dengan yang diberikan jasa dan atau praktik psikologi, yang
mungkin akan mengarah pada eksploitasi atau hilangnya objektivitas
b) memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana orang yang diberikan
pendelegasian dapat diharapkan melakukan secara kompeten atas dasar pendidikan,
pelatihan atau pengalaman, baik secara independen, atau dengan pemberian
supervisi hingga level tertentu; dan
c) memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan psikologi secara
kompeten.
Pasal 11
MASALAH DAN KONFLIK PERSONAL
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa
masalah dan konflik pribadi mereka akan dapat mempengaruhi efektifitas
kerja. Dalam hal ini Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mampu menahan diri
dari tindakan yang dapat merugikan pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak
lain, sebagai akibat dari masalah dan atau konflik pribadi tersebut.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi berkewajiban untuk waspada terhadap tanda-tanda adanya
masalah dan konflik pribadi, bila hal ini terjadi sesegera mungkin mencari
bantuan atau melakukan konsultasi profesional untuk dapat kembali menjalankan pekerjaannya secara profesional. Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi harus menentukan akan membatasi, menangguhkan, atau
menghentikan kewajiban layanan psikologi tersebut.
Pasal 12
PEMBERIAN LAYANAN PSIKOLOGI DALAM KEADAAN DARURAT
(1)
Keadaan darurat adalah suatu kondisi di mana layanan kesehatan
mental dan atau psikologi secara mendesak dibutuhkan tetapi tidak tersedia
tenaga Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang memiliki kompetensi untuk
memberikan layanan psikologi yang dibutuhkan.
(2)
Dalam kondisi sebagaimana
tersebut dalam poin (1) pasal ini, kebutuhan yang ada tetap harus dilayani.
Karenanya Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi
dalam bidang tersebut dapat memberikan layanan psikologi untuk memastikan bahwa
kebutuhan layanan psikologi tersebut tidak
ditolak.
(3)
Selama memberikan layanan
psikologi dalam keadan darurat, psikolog yang belum memiliki kompetensi yang
dibutuhkan dan atau Ilmuwan Psikologi perlu segera mencari psikolog yang
kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan pemberian layanan psikologi
tersebut.
(4)
Bila Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten telah tersedia atau kondisi darurat telah
selesai, maka pemberian layanan psikologi tersebut harus dialihkan kepada yang
lebih kompeten atau dihentikan segera.
BAB IV
HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
Pasal 13
SIKAP PROFESIONAL
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
dalam memberikan layanan psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok,
lembaga atau organisasi/institusi, harus sesuai dengan keahlian dan
kewenangannya serta berkewajiban untuk:
a) Mengutamakan dasar-dasar profesional
b) Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya.
c) Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang merugikan sebagai dampak layanan psikologi yang diterimanya.
d) Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai layanan psikologi
serta pihak-pihak yang terkait dalam pemberian pelayanan tersebut.
e) Dalam hal pemakai layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena
dampak negatif yang tidak dapat dihindari akibat pemberian layanan psikologi
yang dilakukan oleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi maka pemakai layanan psikologi
tersebut harus diberitahu.
Pasal 14
PELECEHAN
(1)
Pelecehan Seksual :
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam penerapan keilmuannya tidak
terlibat dalam pelecehan seksual. Tercakup dalam pengertian ini adalah
permintaan hubungan seks, cumbuan fisik, perilaku verbal atau non verbal yang
bersifat seksual, yang terjadi dalam kaitannya dengan kegiatan atau peran
sebagai Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi. Pelecehan seksual dapat terdiri
dari satu perilaku yang intens / parah, atau
perilaku yang berulang, bertahan / sangat meresap, serta menimbulkan trauma.
Perilaku yang dimaksud dalam pengertian ini adalah tindakan atau perbuatan yang
dianggap:
(a) tidak dikehendaki, tidak sopan,
dapat menimbulkan sakit hati atau dapat menimbulkan suasana tidak nyaman, rasa
takut, mengandung permusuhan yang dalam hal ini Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi mengetahui atau diberitahu mengenai hal tersebut atau
(b) bersikap keras atau cenderung
menjadi kejam atau menghina terhadap seseorang dalam konteks tersebut.
(c) sepatutnya menghindari hal-hal yang secara nalar merugikan atau patut
diduga dapat merugikan pengguna layanan psikologi atau pihak lain.
(2)
Pelecehan lain
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
tidak diperkenankan secara sadar terlibat dalam perilaku yang melecehkan
atau meremehkan individu yang berinteraksi dengan mereka dalam pekerjaan mereka, baik atas dasar usia,
gender, ras, suku, bangsa, agama, orientasi seksual, kecacatan, bahasa atau
status sosial-ekonomi.
Pasal 15
PENGHINDARAN DAMPAK BURUK
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang masuk
akal untuk menghindari munculnya dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi
serta pihak-pihak lain yang terkait dengan kerja mereka serta meminimalkan
dampak buruk untuk hal-hal yang tak terhindarkan tetapi dapat diantisipasi
sebelumnya. Dalam hal seperti ini, maka pemakai layanan psikologi serta
pihak-pihak lain yang terlibat harus mendapat informasi tentang
kemungkinan-kemungkinan tersebut.
Pasal 16
HUBUNGAN MAJEMUK
(1)
Hubungan majemuk terjadi
apabila :
a) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi sedang dalam peran profesionalnya
dengan seseorang dan dalam waktu yang bersamaan menjalankan peran lain dengan
orang yang sama, atau
b) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam waktu yang bersamaan memiliki
hubungan dengan seseorang yang secara dekat berhubungan dengan orang yang
memiliki hubungan profesional dengan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
tersebut.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi sedapat mungkin menghindar dari hubungan majemuk apabila
hubungan majemuk tersebut dipertimbangkan dapat
merusak objektivitas, kompetensi atau efektivitas dalam menjalankan fungsinya
sebagai Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi, atau apabila beresiko terhadap
eksploitasi atau kerugian pada orang atau pihak lain dalam hubungan profesional
tersebut.
(3)
Apabila ada hubungan
majemuk yang diperkirakan akan merugikan , Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
melakukan langkah-langkah yang masuk akal untuk mengatasi hal tersebut dengan
mempertimbangkan kepentingan terbaik orang yang terkait dan kepatuhan yang
maksimal terhadap Kode etik.
(4)
Apabila Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi dituntut oleh hukum, kebijakan institusi, atau
kondisi-kondisi luar biasa untuk melakukan lebih dari satu peran, sejak awal
mereka harus memperjelas peran yang dapat diharapkan dan rentang kerahasiaannya,
bagi diri sendiri maupun bagi pihak-pihak lain yang terkait.
Pasal 17
KONFLIK KEPENTINGAN
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi menghindar dari melakukan peran profesional apabila
kepentingan pribadi, ilmiah, profesional, hukum, finansial, kepentingan atau
hubungan lain diperkirakan akan merusak
objektivitas, kompetensi, atau efektivitas mereka dalam menjalankan fungsi
sebagai Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi atau berdampak buruk bagi pengguna layanan
psikologi serta pihak-pihak yang terkait dengan pengguna layanan psikologi
tersebut.
Pasal 18
EKSPLOITASI
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap mengandung unsur
eksploitasi, yaitu:
a) Pemanfaatan atau eksploitasi terhadap pribadi atau pihak-pihak yang sedang
mereka supervisi, evaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti
mahasiswa, karyawan, peserta penelitian, orang yang menjalani pemeriksaan
psikologi ataupun mereka yang berada di bawah penyeliaannya.
b) Terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan mahasiswa
atau mereka yang berada di bawah bimbingan di mana Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi memiliki wewenang evaluasi atau otoritas langsung.
c) Pemanfaatan atau eksploitasi atau
terlibat dalam hal-hal yang mengarah pada hubungan seksual dengan pengguna layanan
psikologi.
(2)
Eksploitasi Data
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak melakukan hal-hal yang dianggap
mengandung unsur pemanfaatan atau eksploitasi data dari mereka yang sedang disupervisi,
dievaluasi, atau berada di bawah wewenang mereka, seperti mahasiswa, karyawan,
partisipan penelitian, pengguna jasa dan atau praktik psikologi ataupun mereka
yang berada di bawah penyeliaannya dimana data tersebut digunakan atau dimanipulasi
digunakan untuk kepentingan pribadi.
Hubungan
sebagaimana tercantum pada (1) dan (2) harus dihindari karena sangat
mempengaruhi penilaian masyarakat pada Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi ataupun mengarah pada eksploitasi.
Pasal
19
HUBUNGAN PROFESIONAL
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memiliki dua jenis bentuk hubungan
profesional yaitu hubungan antar profesi yaitu dengan sesama Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi serta hubungan dengan profesi lain.
(1)
Hubungan antar profesi
a) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati dan
menjaga hak-hak serta nama baik rekan profesinya, yaitu sejawat akademisi Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi.
b) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi seyogianya saling memberikan umpan
balik konstruktif untuk peningkatan keahlian profesinya.
c) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib mengingatkan rekan profesinya
dalam rangka mencegah terjadinya pelanggaran kode etik psikologi.
d) Apabila terjadi pelanggaran kode etik psikologi yang di luar batas kompetensi
dan kewenangan dan butir a, b dan c diatas tidak berhasil dilakukan maka wajib
melaporkan kepada organisasi profesi
(2)
Hubungan dengan Profesi
lain
a)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi wajib menghargai, menghormati kompetensi dan kewenangan rekan
dari profesi lain.
b) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib mencegah dilakukannya pemberian layanan
psikologi oleh orang atau pihak lain yang tidak memiliki kompetensi dan
kewenangan.
Pasal 20
INFORMED CONSENT
Setiap proses penelitian atau pemeriksaan psikologi
yang melibatkan manusia
harus disertai dengan informed consent.
Informed Consent adalah persetujuan dari orang yang akan menjalani pemeriksaan psikologi
atau orang yang menjadi subjek penelitian untuk terlibat dalam proses
penelitian psikologi yang dinyatakan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani
oleh orang yang menjalani pemeriksaan/yang menjadi subyek penelitian dan saksi. Aspek-aspek yang perlu dicantumkan dalam informed consent adalah:
a.
Kesediaan untuk
mengikuti penelitian dan atau praktik psikologi tanpa
paksaan.
b.
Perkiraan lamanya
penelitian dan atau praktik psikologi
c.
Gambaran tentang apa
yang akan dilakukan dalam proses penelitian, dan atau praktik tersebut
d.
Keuntungan dan atau
risiko yang dialami selama proses tersebut
e.
Jaminan kerahasiaan
selama proses tersebut
f.
Orang yang bertanggung
jawab jika terjadi efek samping yang merugikan selama proses tersebut.
Dalam konteks Indonesia pada masyarakat tertentu yang
mungkin terbatas pendidikannya atau yang mungkin rentan memberikan informed consent secara tertulis maka informed
consent dapat dilakukan secara lisan dan direkam
Informed consent yang berkaitan dengan proses penelitian
psikologi terdapat pada pasal 42 sedangkan yang berkait dengan asesmen
psikologi terdapat pada pasal 55 dan yang berkaitan dengan terapi psikologi
pada pasal 60 dalam kode etik ini.
Pasal 21
PELAYANAN PSIKOLOGI YANG DIBERIKAN KEPADA ATAU MELALUI ORGANISASI
Ilumuwan
Psikologi dan atau Psikolog yang memberikan layanan psikologi kepada organisasi
/ perusahaan memberikan informasi sepenuhnya tentang:
·
Sifat dan tujuan dari layanan
psikologi yang diberikan
·
Penerima layanan
psikologi
·
Individu yang menjalani
pemeriksaan psikologi
·
Hubungan antara Ilmuwan
Psikologi dan atau Psilokog dengan organisasi dan orang yang menjalani
pemeriksaan psikologi
·
Batas-batas kerahasiaan
yang harus dijaga
·
Orang yang memiliki
akses informasi
Apabila Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi dilarang oleh organisasi peminta layanan untuk
memberikan hasil informasi kepada orang yang menjalani pemeriksaan psikologi,
maka hal tersebut harus diinformasikan sejak awal proses pemberian layanan
psikologi berlangsung.
Pasal 22
PENGALIHAN DAN PENGHENTIAN LAYANAN PSIKOLOGI
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi menyadari pentingnya perencanaan kegiatan dan menyiapkan
langkah-langkah yang perlu dilakukan bila terjadi hal-hal yang dapat
menyebabkan pelayanan psikologi mengalami penghentian, terpaksa dihentikan atau
dialihkan kepada pihak lain. Sebelum layanan psikologi dialihkan atau
dihentikan pelayanan tersebut dengan alasan apapun, hendaknya dibahas bersama
antara Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dengan penerima layanan psikologi kecuali
kondisinya tidak memungkinkan.
(1)
Pengalihan layanan : Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi dapat mengalihkan layanan psikologi kepada sejawat
lain (rujukan) karena :
a) Ketidak mampuan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi, misalnya sakit atau
meninggal.
b) Salah satu dari mereka pindah ke kota lain
c) Keterbatasan pengetahuan atau kompetensi dari Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi
d) Ketebatasan pemberian imbalan dari penerima jasa dan atau praktik
psikologi.
(2)
Penghentian layanan : Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi harus menghentikan layanan psikologi apabila:
a) Pengguna layanan psikologi sudah tidak memerlukan jasa psikologi dan atau
praktik psikologi yang telah dilakukan.
b) Ketergantungan dari pengguna layanan psikologi maupun orang yang menjalani
pemeriksaan terhadap Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang bersangkutan
sehingga timbul perasaan tak nyaman atau tidak sehat pada salah satu atau kedua
belah pihak.
BAB V
KERAHASIAAN REKAM dan HASIL PEMERIKSAAN PSIKOLOGI
Pasal 23
REKAM PSIKOLOGI
Jenis Rekam Psikologi adalah rekam psikologi lengkap dan
rekam psikologi terbatas.
(1)
Rekam Psikologi Lengkap
a) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi membuat, menyimpan (mengarsipkan),
menjaga, memberikan catatan dan data yang berhubungan dengan penelitian,
praktik, dan karya lain sesuai dengan hukum yang berlaku dan dalam cara yang
sesuai dengan ketentuan Kode Etik Psikologi Indonesia.
b) Ilmuwan Psikologi dan atau Psikolog
membuat dokumentasi atas karya profesional dan ilmiah mereka untuk:
i.
memudahkan pengguna layanan
psikologi mereka dikemudian hari baik oleh mereka sendiri atau oleh profesional lainnya
ii.
bukti pertanggung-jawaban
telah dilakukannya pemeriksaan psikologi
iii.
memenuhi prasyarat yang
ditetapkan oleh institusi ataupun hukum.
c) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjaga kerahasiaan klien dalam hal
pencatatan, penyimpanan, pemindahan, dan pemusnahan catatan/data di bawah pengawasannya.
d) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjaga dan memusnahkan catatan dan
data, dengan memperhatikan kaidah hukum atau perundang-undangan yang berlaku
dan berkaitan dengan pelaksanaan kode etik ini.
e) Apabila Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mempunyai dugaan kuat bahwa
catatan atau data mengenai jasa profesional mereka akan digunakan untuk
keperluan hukum yang melibatkan penerima atau partisipan layanan psikologi
mereka, maka Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi bertanggung jawab untuk
membuat dan mempertahankan dokumentasi yang telah dibuatnya secara rinci,
berkualitas dan konsisten, seandainya diperlukan penelitian dengan cermat dalam
forum hukum.
f) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan pemeriksaan layanan psikologi
terhadap seseorang dan menyimpan hasil pemeriksaan psikologinya dalam arsip
sesuai dengan ketentuan, karena sesuatu
hal tidak memungkinkan lagi menyimpan data tersebut, maka demi kerahasiaan
pengguna layanan psikologi, sebelumnya Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
menyiapkan pemindahan tempat atau pemberian kekuasaan pada sejawat lain
terhadap data hasil pemeriksaan psikologi tersebut dengan tetap menjaga
kerahasiaannya. Pelaksanaan dalam hal
ini harus di bawah pengawasannya, yang dapat dalam bentuk tertulis atau lainnya.
(2)
Rekam Psikologis untuk
Kepentingan Khusus
a) Laporan pemeriksaan Psikologi untuk kepentingan khusus hanya dapat
diberikan kepada personal atau organisasi yang membutuhkan dan berorientasi
untuk kepentingan atau kesejahteraan orang yang mengalami pemeriksaan
psikologi.
b) Laporan Pemeriksaan Psikologi untuk kepentingan khusus dibuat sesuai dengan
kebutuhan dan tetap mempertimbangkan unsur-unsur ketelitian dan ketepatan hasil
pemeriksaan serta menjaga kerahasiaan orang yang mengalami pemeriksaan
psikologi.
Pasal 24
MEMPERTAHANKAN KERAHASIAAN
DATA
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi wajib memegang teguh rahasia yang menyangkut klien atau
pengguna layanan psikologi dalam hubungan dengan pelaksanaan kegiatannya.
Penggunaan keterangan atau data mengenai pengguna layanan psikologi atau orang
yang menjalani pemeriksaan psikologi yang diperoleh Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi dalam rangka pemberian layanan Psikologi, hendaknya mematuhi hal-hal
sebagai berikut;
a) Dapat diberikan hanya kepada yang berwenang mengetahuinya dan hanya memuat
hal-hal yang langsung dan berkaitan dengan tujuan pemberian layanan psikologi.
b) Dapat didiskusikan hanya dengan orang-orang atau pihak yang secara langsung
berwenang atas diri pengguna layanan psikologi.
c) Dapat dikomunikasikan dengan bijaksana secara lisan atau tertulis kepada
pihak ketiga hanya bila pemberitahuan ini diperlukan untuk kepentingan pengguna
layanan psikologi, profesi, dan akademisi. Dalam kondisi tersebut indentitas
orang yang menjalani pemeriksaan psikologi tetap dijaga kerahasiaannya.
Seandainya data
orang yang menjalani layanan jasa dan atau praktik psikologi harus dimasukkan
ke data dasar (data base) atau sistem pencatatan yang dapat diakses pihak lain
yang tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan maka Ilmuwan Psikologi dan atau Psikolog harus menggunakan kode atau cara lain
yang dapat melindungi orang tersebut dari kemungkinan untuk bisa dikenali.
Pasal 25
MENDISKUSIKAN BATASAN KERAHASIAAN DATA KEPADA PENGGUNA JASA DAN ATAU
PRAKTIK PSIKOLOGI
(1)
Materi Diskusi
a) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi membicarakan informasi kerahasian data dalam
rangka memberikan konseling dan atau konsultasi kepada pengguna layanan
psikologi (perorangan, organisasi, mahasiswa, partisipan penelitian) dalam
rangka tugasnya sebagai profesional. Data hasil pemberian layanan psikologi
hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmiah atau profesional.
b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dalam
melaksanakan tugasnya harus berusaha untuk tidak menggangu kehidupan pribadi
pengguna layanan psikologi, kalaupun diperlukan harus diusahakan seminimal
mungkin.
c) Dalam hal diperlukan laporan hasil pemeriksaan psikologi, maka Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi hanya memberikan laporan, baik lisan maupun tertulis;
sebatas perjanjian atau kesepakatan yang
telah dibuat.
(2)
Lingkup Orang
a) Pembicaraan yang berkaitan dengan layanan psikologi hanya dilakukan dengan
mereka yang secara jelas terlibat dalam permasalahan atau kepentingan tersebut
b) Keterangan atau data yang diperoleh dapat diberitahukan kepada orang lain
atas persetujuan pemakai layanan psikologi atau penasehat hukumnya.
c) Jika pemakai jasa masih kanak-kanak atau orang dewasa yang tidak mampu
untuk memberikan persetujuan secara sukarela, maka Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi wajib melindungi agar pengguna layanan psikologi serta orang yang
menjalani pemeriksaan psikologi tidak mengalami hal-hal yang merugikan.
d) Apabila Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melakukan konsultasi antar
sejawat, perlu diperhatikan hal berikut dalam rangka menjaga kerahasiaan. Ilmuwan
Psikologi dan Psikolog tidak saling berbagi untuk hal-hal yang seharusnya
menjadi rahasia pengguna layanan psikologi (peserta riset, atau pihak manapun
yang menjalani pemeriksaan psikologi), kecuali dengan izin yang bersangkutan
atau pada situasi dimana kerahasiaan itu memang tidak mungkin ditutupi. Saling
berbagi informasi hanya diperbolehkan kalau diperlukan untuk pencapaian tujuan
konsultasi, itupun sedapat mungkin tanpa menyebutkan identitas atau cara
pengungkapan lain yang dapat dikenali sebagai indentitas pihak tertentu.
Pasal 26
PENGUNGKAPAN KERAHASIAAN DATA
(1)
Sejak awal Ilmuwan
Psikologi dan atau Psikolog harus sudah
merencanakan agar data yang dimiliki terjaga kerahasiaannya dan data itu tetap
terlindungi, bahkan sesudah ia meninggal dunia, tidak mampu lagi, atau sudah
putus hubungan dengan posisinya atau tempat praktiknya.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi perlu menyadari bahwa untuk pemilikan catatan dan data yang
termasuk dalam klarifikasi rahasia, penyimpanan, pemanfaatan, dan pemusnahan
data atau catatan tersebut diatur oleh prinsip legal.
(3)
Cara pencatatan data
yang kerahasiaannya harus dilindungi mencakup data pengguna layanan psikologi yang
seharusnya tidak dikenai biaya atau pemotongan pajak. Dalam hal ini, pencatatan
atau pemotongan pajak mengikuti aturan sesuai hukum yang berlaku.
(4)
Dalam hal diperlukan
persetujuan terhadap protokol riset dari dewan penilai atau sejenisnya dan
memerlukan identifikasi personal, maka identitas itu harus dihapuskan sebelum
datanya dapat diakses.
(5)
Dalam hal diperlukan
pengungkapan rahasia maka Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat membuka
rahasia tanpa persetujuan klien hanya dalam rangka keperluan hukum atau tujuan
lain, seperti membantu mereka yang memerlukan pelayanan profesional, baik
secara perorangan maupun organisasi serta untuk melindungi pengguna layanan
psikologi dari masalah atau kesulitan.
Pasal 27
PEMANFAATAN INFORMASI DAN HASIL PEMERIKSAAN UNTUK TUJUAN PENDIDIKAN ATAU
TUJUAN LAIN
(1) Pemanfaatan
untuk Tujuan Pendidikan
Data dan
informasi hasil pemeriksaan psikologi bila diperlukan untuk kepentingan
pendidikan, data harus disajikan sebagaimana adanya dengan menyamarkan nama
orang atau lembaga yang datanya digunakan.
(2) Pemanfaatan
untuk Tujuan Lain
a)
Pemanfaatan data hasil pemeriksaan psikologi
untuk tujuan lain selain tujuan pendidikan harus ada ijin tertulis dari yang
bersangkutan dan menyamarkan nama lembaga atau perorangan yang datanya
digunakan.
b)
Khususnya untuk pemanfaatan hasil pemeriksaan
psikologi di bidang hukum atau hal-hal yang berkait dengan kesejahteraan
pengguna layanan Psikologi serta orang yang menjalani pemeriksaan psikologi
maka identitas harus dinyatakan secara jelas dan dengan persetujuan yang
bersangkutan.
c)
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak
membuka kerahasiaan pengguna layanan Psikologi serta orang yang menjalani
pemeriksaan psikologi untuk keperluan penulisan, pengajaran maupun pengukapan
di media, kecuali kalau ada alasan kuat untuk itu dan tidak bertentangan dengan
hukum.
d)
Dalam pertemuan ilmiah atau perbincangan profesi
yang menghadapkan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi untuk mengemukakan data,
harus diusahakan agar pengungkapan data tersebut dilakukan tanpa mengungkapkan
identitas, yang bisa dikenali sebagai seseorang atau institusi yang mungkin
bisa ditafsirkan oleh siapapun sebagai identitas diri yang jelas ketika hal itu
diperbincangkan.
BAB VI
IKLAN DAN PERNYATAAN PUBLIK
Pasal 28
PERTANGGUNGJAWABAN
Iklan dan Pernyataan publik yang dimaksud dalam pasal ini dapat
berhubungan dengan jasa, produk atau publikasi profesional Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi di bidang psikologi, mencakup iklan yang dibayar atau tidak
dibayar, brosur, barang cetakan, daftar direktori, resume pribadi atau
curriculum vitae, wawancara atau komentar yang dimuat dalam media, pernyataan
dalam buku, hasil seminar, lokakarya, pertemuan ilmiah, kuliah, presentasi
lisan di depan publik, dan materi-materi lain yang diterbitkan.
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi; dalam memberikan pernyataan kepada masyarakat melalui
berbagai jalur media baik lisan maupun tertulis mencerminkan keilmuannya
sehingga masyarakat dapat menerima dan memahami secara benar agar terhindar
dari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan masyarakat pengguna jasa dan atau
praktik psikologi. Pernyataan tersebut
harus disampaikan dengan ;
§ Bijaksana,
jujur, teliti, hati-hati,
§ Lebih
mendasarkan pada kepentingan umum daripada pribadi atau golongan,
§ Berpedoman
pada dasar ilmiah dan disesuaikan dengan bidang keahlian/kewenangan selama
tidak bertentangan dengan kode etik psikologi.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi dalam pernyataan yang dibuat harus mencantumkan gelar atau
identitas keahlian pada karya di bidang psikologi yang dipublikasikan sesuai
dengan gelar yang diperoleh dari institusi pendidikan yang terakreditasi secara
nasional atau mencantumkan sebutan psikolog sesuai sertifikat yang diperoleh.
(3)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi tidak membuat pernyataan palsu, menipu atau curang mengenai
a) Gelar akademik / ijazah
b) Gelar profesi
c) Pelatihan, pengalaman atau kompetensi yang dimiliki
d) Izin Praktik dan Keahlian
e) Kerjasama institusional atau asosiasi
f) Jasa atau praktik psikologi yang diberikan
g) Dasar ilmiah dan klinis, atau hasil dan tingkat keberhasilan jasa layanan
h) Biaya
i) Orang-orang atau organisasi dengan siapa bekerjasama
j) Publikasi atau hasil penelitian
Pasal 29
KETERLIBATAN PIHAK LAIN TERKAIT
PERNYATAAN PUBLIK
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi yang melibatkan orang atau pihak lain untuk menciptakan atau
menempatkan pernyataan publik yang mempromosikan praktek profesional, hasil
penelitian atau aktivitas yang bersangkutan, tanggung jawab profesional atas
pernyataan tersebut tetap berada di tangan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi berusaha mencegah orang atau pihak lain yang dapat mereka
kendalikan, seperti lembaga tempat bekerja, sponsor, penerbit, atau pengelola
media dari membuat pernyataan yang dapat dikategorikan sebagai penipuan
berkenaan dengan jasa dan atau praktik psikologi. Bila mengetahui adanya
pernyataan yang tergolong penipuan atau pemalsuan terhadap karya mereka yang
dilakukan orang lain, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berusaha untuk
menjelaskan kebenarannya.
(3)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi tidak memberikan kompensasi
pada karyawan pers, baik cetak
maupun elektronik atau media komunikasi lainnya sebagai imbalan untuk publikasi
pernyataannya dalam berita.
Pasal 30
DESKRIPSI PROGRAM PELATIHAN dan PENDIDIKAN NON GELAR
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikolog bertanggung jawab atas pengumuman, katalog,
brosur atau iklan, seminar atau program non gelar yang dilakukannya. Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi memastikan bahwa hal yang diberitakan tersebut
menggambarkan secara akurat tentang
tujuan, kemampuan tentang
pelatih, instruktur, supervisor dan biaya yang terkait.
Pasal 31
PERNYATAAN MELALUI MEDIA
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi dalam memberikan keterangan pada publik melalui media cetak
atau elektronik harus berhati-hati untuk memastikan bahwa pernyataan tersebut:
a) Konsisten terhadap kode etik
b) Berdasar pada pengetahuan /pendidikan profesional,
pelatihan, konsep teoritis dan konsep praktik psikologi yang tepat
c) Berdasar pada asas praduga tak bersalah
d) Telah mempertimbangkan batasan kerahasiaan
Pasal 32
IKLAN DIRI YANG BERLEBIHAN
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam menjelaskan kemampuan atau
keahliannya harus bersikap jujur, wajar, bijaksana dan tidak berlebihan dengan
memperhatikan ketentuan yang berlaku untuk menghindari kekeliruan penafsiran di masyarakat.
BAB VII
BIAYA JASA DAN PRAKTIK PSIKOLOGI
Pasal 33
PENJELASAN
BIAYA DAN BATASAN
Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi menjunjung tinggi profesionalitas dan senantiasa terus
meningkatkan kompetensinya. Berkaitan dengan hal tersebut Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi perlu dihargai dengan imbalan sesuai profesionalitas dan
kompetensinya. Pengenaan biaya atas layanan psikologi kepada pengguna jasa
perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi/institusi harus disesuaikan
dengan keahlian dan kewenangan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi, dengan
kewajiban untuk mengutamakan dasar-dasar profesional.
(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan kepada pengguna layanan
psikologi secara rinci hak dan kewajiban masing-masing pihak termasuk biaya layanan psikologi yang disediakannya,
sesuai kompetensi keilmuan dan profesional yang dimiliki, dalam cakupan standar
yang pantas untuk masyarakat/kelompok pengguna layanan psikologi khusus.
(2) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat menggunakan berbagai cara
termasuk tindakan hukum untuk mendapatkan imbalan jasa yang telah diberikan
jika pengguna jasa tidak memberikan imbalan jasa sebagaimana yang telah
disepakati. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus memberitahu pihak yang
bersangkutan terlebih dahulu bahwa tindakan tersebut akan dilakukan, serta
memberi kesempatan untuk dapat menyelesaikan permasalahan sebelum tindakan
hukum dilakukan.
(3) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak menahan catatan yang
diperlukan untuk penanganan darurat terhadap pengguna layanan psikologi, hanya
atau semata-mata karena imbalan terhadap layanan psikologi yang diberikan belum
diterima.
(4) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak bersedia memenuhi permintaan layanan
psikologi yang diketahui melanggar Kode Etik seperti yang dicantumkan dalam keseluruhan
pasal-pasal dalam Kode Etik ini, apalagi menerima imbalan dalam bentuk uang
atau dalam bentuk lain untuk pekerjaan tersebut.
(5) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi sebagai bentuk kepedulian pada
masyarakat dapat dan baik untuk menjalankan, atau terlibat dalam
aktivitas-aktivitas penyediaan layanan psikologi secara suka rela, dengan tetap
menjunjung tinggi profesionalitas.
Pasal 34
RUJUKAN DAN BIAYA
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi membagi imbalan dengan profesional
lain, atasan atau bawahan, pembayaran terhadap masing-masing harus berdasarkan
jasa dan atau praktik yang diberikan dan sudah diatur sebelum pelaksanaan
pelayanan psikologi dilakukan.
Pasal 35
KEAKURATAN DATA DAN LAPORAN KEPADA PEMBAYAR ATAU SUMBER DANA
Psikolog dan atau
Psikologi memastikan keakuratan data dan laporan pemeriksaan psikologi kepada
pembayar jasa atau sumber dana
Pasal 36
PERTUKARAN (Barter)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi dapat menerima benda atau imbalan non uang dari pengguna layanan
psikologi sebagai imbalan atas pelayanan psikologi yang diberikan hanya jika
tidak bertentangan dengan kode etik dan pengaturan yang dihasilkan tidak
eksploitatif.
BAB VIII
PENDIDIKAN
dan PELATIHAN
Pasal 37
RANCANGAN dan PENJABARAN PROGRAM
PENDIDIKAN
dan PELATIHAN
(1) Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi yang bertanggung jawab atas program pendidikan dan pelatihan
serta mengadakan langkah-langkah yang tepat untuk memastikan bahwa program yang
dirancang memberikan pengetahuan yang tepat dan pengalaman yang layak untuk memenuhi kebutuhan surat ijin,
sertifikasi atau tujuan lain yang dimaksud untuk program tersebut.
(2) Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi mengambil langkah yang memadai guna memastikan penjabaran
rencana pendidikan dan atau pelatihannya secara tepat dengan materi yang akan
dibahas, dasar-dasar untuk evaluasi kemajuan dan sifat dari pengalaman
pendidikan dan atau pelatihan. Standar ini tidak membatasi pendidik atau
pelatih untuk memodifikasi isi program
pendidikan atau persyaratan jika dari sisi pendidikan dipandang penting atau
dibutuhkan, selama peserta didik diberitahukan akan adanya perubahan dalam
rangka memungkinkan mereka untuk memenuhi persyaratan pendidikan.
Pasal 38
KEAKURATAN DALAM PENGAJARAN
IPsikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mengambil langkah yang tepat guna
memastikan rencana pendidikan dan atau pelatihannya berdasar perkembangan kemajuan pengetahuan
terkini dan sesuai dengan materi yang akan dibahas.
Pasal 39
PENGUNGKAPAN INFORMASI PRIBADI
PESERTA PENDIDIKAN DAN
PELATIHAN
(1) Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi tidak meminta peserta didik atau peserta pelatihan untuk
mengungkapkan informasi pribadi mereka dalam kegiatan yang berhubungan dengan program
pendidikan atau pelatihan, baik secara lisan atau tertulis, yang berkaitan
dengan sejarah kehidupan seksual, riwayat penyiksaan, perlakuan psikologis dari
hubungan dengan orangtua, teman sebaya, serta pasangan atau pun orang-orang
yang signifikan lainnya. Hal tersebut tidak diberlakukan, kecuali jika :
·
Program atau pelatihan
teersebut sudah dikemukakan dalam persyaratan pada saat pendaftaran di materi
program, atau
·
Menjadi satu cara atau
pendekatan yang dianggap penting dan tepat untuk dapat memahami, berempati,
memfasilitasi pemulihan dan atau memampukan peserta didik untuk menemukan
pendekatan penanganan yang tepat bagi isu atau kasus khusus tertentu
·
Informasi ini penting
untuk mengevaluasi siswa dimana masalah
pribadinya dapat dievaluasi dengan mudah akan menghambat keberhasilan dalam pelatihan.
(2) Bila pengungkapan informasi
pribadi yang peka harus dilakukan, hal tersebut harus dilakukan oleh Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi yang terlatih untuk memastikan kebermanfaatan
maksimal, mencegah dampak negatif dari hal tersebut, serta untuk tetap
memastikan tidak diungkapkannya informasi pribadi tersebut dalam konteks lain
di luar pendidikan dan pelatihan oleh semua pihak yang terlibat.
Pasal 40
KEWAJIBAN PESERTA
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN UNTUK
MENGIKUTI PROGRAM PENDIDIKAN TERAPI YANG DISYARATKAN
Bila suatu terapi
individual atau kelompok merupakan persyaratan dalam suatu program atau
pengajaran, psikolog bertanggung jawab bahwa program terapi tersebut tersedia.
Terapi yang disyaratkan tersebut diberikan oleh praktisi atau ahli terapi dalam
bidangnya yang tidak berhubungan dengan
program atau pengajaran tersebut.
Pengajar yang
bertanggung jawab terhadap evaluasi dan prestasi akademik mahasiswa tidak boleh
memberikan terapi yang disyaratkan.
Pasal 41
PENILAI
KINERJA PESERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN atau BAWAHAN
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi dalam bidang akademik, pengawasan atau supervisi, menetapkan
proses yang spesifik dan berjadwal untuk memberikan umpan balik kepada
mahasiswa dan orang yang disupervisi. Informasi
mengenai proses tersebut diberikan pada awal pengawasan.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi mengevaluasi kinerja mahasiswa, orang yang disupervisi dan
bawahan berdasarkan persyaratan program yang relevan dan telah ditetapkan
sebelumnya.
Pasal 42
KEAKRABAN SEKSUAL DENGAN PESERTA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN ATAU ORANG YANG
DISUPERVISI
(1) Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi tidak terlibat dalam keakraban seksual dengan peserta didik atau
orang yang sedang disupervisi, orang yang berada di agensi atau biro konsultasi
psikologi, pusat pelatihan atau tempat kerja Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi, dimana Ilmuwan Psikologi atau Psikolog tersebut mempunyai wewenang, akan
menilai atau mengevaluasi mereka.
(2) Bila hal di atas tidak
terhindari karena berbagai alasan misalnya karena adanya hubungan khusus yang
telah terbawa sebelumnya, tanggungjawab supervisi atau pendidikan harus
dialihkan pada Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi lain yang memiliki hubungan
netral dengan peserta didik untuk memastikan obyektivitas dan meminimalkan
kemungkinan-kemungkinan negatif pada semua pihak terlibat.
BAB IX
PENELITIAN dan
PUBLIKASI
Pasal 43
PEDOMAN UMUM
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam
melaksanakan penelitian diawali dengan menyusun dan menuliskan rencana
penelitian sedemikian rupa dalam proposal dan protokol penelitian sehingga
dapat dipahami oleh pihak-pihak lain yang berkepentingan. Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi membuat desain penelitian, melaksanakan, melaporkan hasilnya
yang disusun sesuai dengan standar atau kompetensi ilmiah dan etik.
(1) Etika :
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memperhatikan
dan bertanggung jawab
atas
etika penelitian dalam merencanakan, melaksanakan dan melaporkan
hasil
penelitian yang dilakukan atau yang dilakukan pihak lain di bawah
bimbingannya.
(2) Batasan kewenangan
a) lPsikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memahami
batasan kemampuan dan kewenangan masing-masing anggota Tim yang terlibat dalam
penelitian tersebut.
b) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat
berkonsultasi dengan pihak-pihak yang lebih ahli di bidang penelitian yang
sedang dilakukan sebagai bagian dari proses implementasi penelitian. Konsultasi yang dimaksud dapat meliputi yang
berkaitan dengan kompetensi dan kewenangan misalnya badan-badan resmi
pemerintah dan swasta, organisasi profesi lain, komite khusus, kelompok sejawat,
kelompok seminat, atau melalui mekanisme lain.
(3) Tanggung jawab
a) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
bertanggungjawab atas pelaksanaan dan hasil penelitian yang dilakukan .
b) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memberi
perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan partisipan penelitian atau
pihak-pihak lain terkait, termasuk kesejahteraan hewan yang digunakan dalam
penelitian.
Pasal 44
ATURAN DAN IZIN PENELITIAN
(1)
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus
memenuhi aturan profesional dan ketentuan yang berlaku, baik dalam perencanaan,
pelaksanaan dan penulisan publikasi penelitian. Dalam hal ini termasuk izin
penelitian dari instansi terkait dan dari pemangku wewenang dari wilayah dan
badan setempat yang menjadi lokasi.
(2)
Jika persetujuan lembaga, komite riset atau instansi
lain terkait dibutuhkan, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus memberikan
informasi akurat mengenai rancangan penelitian sesuai dengan protokol penelitian dan memulai
penelitian setelah memperoleh persetujuan.
Pasal 45
Partisipan Penelitian
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah untuk melindungi perorangan atau
kelompok yang akan menjadi partisipan penelitian dari konsekuensi yang tidak
menyenangkan, baik dari keikutsertaan atau
penarikan diri/pengunduran dari keikutsertaan.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi berinteraksi dengan partisipan penelitian hanya di lokasi dan
dalam hal-hal yang sesuai dengan rancangan penelitian, yang konsisten dengan
perannya sebagai peneliti ilmiah. Pelanggaran terhadap hal ini dan adanya
tindakan penyalahgunaan wewenang dapat dikenai butir pelanggaran seperti
tercantum dalam pasal dan bagian-bagian lain dari Kode Etik ini (misalnya
pelecehan seksual dan bentuk pelecehan lain).
(3)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi harus memberi kesempatan adanya pilihan kegiatan lain kepada partisipan mahasiswa,
peserta pendidikan, anak buah / bawahan, orang yang sedang menjalani
pemeriksaan psikologi bila ingin tidak terlibat / mengundurkan diri dari
keikutsertaan dalam penelitian yang menjadi bagian dari suatu proses yang
diwajibkan dan dapat dipergunakan untuk memperoleh kredit tambahan.
Pasal 46
INFORMED CONSENT PENELITIAN
Sebelum pengambilan data penelitian tetapi setelah memperoleh izin penelitian Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi menjelaskan pada calon partisipan penelitian dengan menggunakan
bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami masyarakat umum tentang
penelitian yang akan dilakukan. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan
kepada calon partisipan asas kesediaan sebagai partisipan penelitian yang
menyatakan bahwa keikutsertaan dalam penelitian yang dilakukan bersifat
sukarela, sehingga memungkinkan pengunduran diri atau penolakan untuk terlibat.
Partisipan harus menyatakan kesediaannya seperti yang dijelaskan pada pasal
yang mengatur tentang itu.
(1)
Informed consent Penelitian
Dalam rangka mendapat persetujuan dari calon
partisipan, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan proses penelitian. Secara
lebih terinci informasi yang penting
untuk disampaikan adalah :
a) Tujuan penelitian, jangka waktu dan prosedur,
antisipasi dari keikutsertaan, yang bila diketahui mungkin dapat mempengaruhi
kesediaan untuk berpartisipasi, seperti risiko yang mungkin timbul, ketidaknyamanan,
atau efek sebaliknya; keuntungan yang mungkin diperoleh dari penelitian; hak
untuk menarik diri dari kesertaan dan mengundurkan diri dari penelitian setelah
penelitian dimulai, konsekuensi yang mungkin timbul dari penarikan dan
pengunduran diri; keterbatasan kerahasiaan; insentif untuk partisipan; dan siapa
yang dapat dihubungi untuk memperoleh informasi lebih lanjut.
b) Jika partisipan penelitian tidak dapat membuat
persetujuan karena keterbatasan atau kondisi khusus, Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi melakukan upaya memberikan penjelasan dan mendapatkan persetujuan
dari pihak berwenang yang mewakili partisipan, atau melakukan upaya lain
seperti diatur oleh aturan yang berlaku.
c) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang mengadakan
penelitian intervensi dan atau eksperimen, di awal penelitian menjelaskan pada
partisipan tentang perlakuan yang akan
dilaksanakan; pelayanan yang tersedia bagi partisipan; alternatif penanganan
yang tersedia apabila individu menarik diri selama proses penelitian; dan
kompensasi atau biaya keuangan untuk berpartisipasi; termasuk pengembalian uang
dan hal-hal lain terkait bila memang ada ketika menawarkan kesediaan partisipan
dalam penelitian.
d) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi berusaha
menghindari penggunaan segala bentuk pemaksaan termasuk daya tarik yang
berlebihan agar partisipan ikut
serta dalam penelitian. Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan sifat dari penelitian tersebut, berikut
risiko, kewajiban dan keterbatasannya.
(2)
Informed Consent Perekaman
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
sebelum merekam suara atau gambar Untuk pengumpulan data harus memperoleh izin
tertulis dari partisipan penelitian. Persetujuan tidak diperlukan bila
perekaman murni untuk kepentingan observasi alamiah di tempat umum dan
diantisipasi tidak akan berimplikasi teridentifikasi atau terancamnya
kesejahteraan atau keselamatan partisipan
penelitian atau pihak-pihak terkait. Bila pada suatu penelitian dibutuhkan
perekaman tersembunyi, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melakukan perekaman
dengan tetap meminimalkan risiko yang diantisipasi dapat terjadi pada
partisipan, dan penjelasan mengenai kepentingan perekaman disampaikan dalam debriefing.
(3)
Pengabaian informed
consent
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak harus meminta
persetujuan partisipan penelitian, hanya jika penelitian melibatkan individu
secara anonim atau dengan kata lain tidak melibatkan individu secara pribadi
dan diasumsikan tidak ada risiko gangguan pada kesejahteraan atau keselamatan,
serta bahaya-bahaya lain pada partisipan penelitian atau pihak-pihak terkait.
Penelitian yang tidak harus memerlukan persetujuan
partisipan antara lain adalah:
a)
penyebaran kuesioner anonim;
b)
observasi alamiah;
c)
penelitian arsip;
yang ke semuanya tidak akan menempatkan partisipan dalam
resiko pemberian tanggung jawab hukum atas tindakan kriminal atau perdata, resiko
keuangan, kepegawaian atau reputasi nama baik dan kerahasiaan.
Pasal 47
PENGELABUAN / MANIPULASI DALAM
PENELITIAN
(1)
Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi tidak diperkenankan menipu atau menutupi informasi, yang mungkin
dapat mempengaruhi calon niat partisipan untuk ikut serta, seperti kemungkinan
mengalami cedera fisik, rasa tidak menyenangkan, atau pengalaman emosional yang
negatif. Penjelasan harus diberikan sedini mungkin agar calon partisipan dapat
mengambil keputusan yang terbaik untuk terlibat atau tidak dalam penelitian.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi boleh melakukan penelitian dengan pengelabuan, teknik
pengelabuan HANYA dibenarkan bila ada alasan ilmiah, untuk tujuan pendidikan
atau bila topik sangat penting untuk diteliti demi pengembangan ilmu, sementara
cara lain yang efektif tidak tersedia. Bila pengelabuan terpaksa dilakukan, Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi menjelaskan bentuk-bentuk pengelabuan yang merupakan
bagian dari keseluruhan rancangan penelitian pada partisipan sesegera mungkin;
sehingga memungkinkan partisipan menarik
data mereka, bila partisipan menarik diri atau tidak bersedia terlibat lebih
jauh (Lihat juga ’debriefing’ pada
pasal 44)
Pasal 48
PENJELASAN SINGKAT/DEBRIEFING
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi memberikan penjelasan singkat segera setelah pengambilan
data, dalam bahasa yang sederhana dan istilah-istilah yang dipahami masyarakat
pada umumnya, agar partisipan memperoleh informasi yang tepat tentang sifat,
hasil, dan kesimpulan penelitian; agar Psikolog
dan atau Ilmuwan Psikologi dapat mengambil langkah tepat untuk meluruskan
persepsi atau konsepsi keliru yang
mungkin dimiliki partisipan.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi resiko
atau bahaya jika nilai-nilai ilmiah dan kemanusiaan menuntut penundaan atau
penahanan informasi tersebut.
(3) Jika Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi menemukan bahwa prosedur
penelitian telah mencelakai partisipan; Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
mengambil langkah tepat untuk meminimalkan bahaya.
Pasal 49
PENGGUNAAN HEWAN UNTUK PENELITIAN
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi memperhatikan peraturan Negara dan
standar profesional apabila menggunakan hewan sebagai objek penelitian. Standar profesional yang dimaksud diantaranya
bekerjasama atau berkonsultasi dengan
ahli yang kompeten. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
(1) Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan penelitian dengan hewan harus terlatih
dan dapat memperlakukan hewan tersebut
dengan baik, mengikuti prosedur yang berlaku, bertanggung jawab untuk
memastikan kenyamanan, kesehatan dan perlakuan yang berperikemanusiaan terhadap
hewan tersebut. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang sedang melakukan
penelitian dengan hewan perlu memastikan
bahwa semua orang yang terlibat dalam
penelitiannya telah menerima petunjuk
mengenai metode penelitian, perawatan dan penanganan hewan yang digunakan,
sebatas keperluan penelitian, dan sesuai perannya. Prosedur yang jelas diperlukan sebagai panduan untuk menangani seberapa jauh hewan
’boleh’ disakiti dan terhindar dari perlakuan semena-mena.
(2) Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi dapat menggunakan prosedur yang menyebabkan rasa sakit,
stres dan penderitaan pada hewan, hanya jika prosedur alternatif tidak
memungkinkan dan tujuannya dibenarkan secara ilmiah atau oleh nilai-nilai
pendidikan dan terapan.
(3) Apabila dalam
penelitian diperlukan pembedahan, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
menjalankan prosedur bedah dengan pembiusan yang memadai dan mengikuti
teknik-teknik untuk mencegah infeksi dan meminimalkan rasa sakit selama, dan
setelah pembedahan.
(4) Apabila nyawa
hewan perlu diakhiri, Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melaksanakannya
dengan segera, dengan usaha untuk meminimalkan rasa sakit dan sesuai dengan
prosedur yang dapat diterima.
Pasal 50
PELAPORAN DAN PUBLIKASI HASIL PENELITIAN
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi bersikap profesional, bijaksana,
jujur dengan memperhatikan keterbatasan kompetensi dan kewenangan sesuai
ketentuan yang berlaku dalam melakuan pelaporan / pubikasi hasil penelitian.
Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan penafsiran serta menyesatkan
masyarakat pengguna jasa psikologi. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah :
(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak merekayasa data atau
melakukan langkah-langkah lain yang tidak bertanggungjawab (lihat pasal lain
misalnya terkait pengelabuan, plagiarisme dll).
(2) Jika Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menemukan kesalahan yang
signifikan pada data yang dipublikasikan, mereka mengambil langkah untuk
mengoreksi kesalahan tersebut dalam sebuah pembetulan (correction), penarikan kembali (retraction),
catatan kesalahan tulis atau cetak (erratum)
atau alat publikasi lain yang tepat.
(3) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak menerbitkan atau
mempublikasikan dalam bentuk original dari data yang pernah dipublikasikan
sebelumnya. Ketentuan ini tidak termasuk
data yang dipublikasi ulang jika disertai dengan penjelasan yang memadai.
Pasal 51
BERBAGI DATA UNTUK KEPENTINGAN PROFESIONAL
(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak menyembunyikan data yang
mendasari kesimpulannya setelah hasil penelitian diterbitkan
(2) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat memberikan data dari hasil penelitian yang telah
dipublikasikan bila ada sejawat atau profesional lain yang memiliki kompetensi sama,dan memerlukannya
sebagai data tambahan untuk menguatkan pembuktiannya melalui analisis ulang,
atau memakai data tersebut sebagai landasan pekerjaannya.
(3) Ketentuan butir (2) tersebut tidak berlaku jika hak hukum individu yang menyangkut
kepemilikan data melarang penyebarluasannya. Untuk kepentingan ini, sejawat
atau profesional lain yang memerlukan data
tersebut wajib mengajukan persetujuan tertulis sebelumnya.
(4) Profesional / sejawat lain
yang memerlukan data penelitian tersebut wajib melindungi kerahasiaan
partisipan penelitian, dan memperhatikan hak legal pemilik data.
(5) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat meminta sejawat atau
profesional lain yang memerlukan data tersebut untuk ikut bertanggung jawab
atas biaya terkait dengan penyediaan informasi.
Pasal 52
PENGHARGAAN DAN PEMANFAATAN KARYA CIPTA PIHAK LAIN
(1)
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib menghargai karya cipta pihak lain
sesuai dengan undang-undang, peraturan dan kaidah ilmiah yang berlaku umum.
Karya cipta yang dimaksud dapat berbentuk
penelitian, buku teks, alat tes atau bentuk lainnya harus dihargai dan
dalam pemanfaatannya memperhatikan ketentuan perundangan mengenai hak cipta
atau hak intelektual yang berlaku.
(2) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak
dibenarkan melakukan plagiarisme dalam berbagai bentuknya, seperti mengutip,
menyadur, atau menggunakan hasil karya orang lain tanpa mencantumkan sumbernya
secara jelas dan lengkap. Penyajian sebagian atau keseluruhan elemen
substansial dari pekerjaan orang lain tidak dapat diklaim sebagai miliknya, termasuk
bila pekerjaan atau sumber data lain itu sesekali disebutkan sebagai sumber.
(3) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak
dibenarkan menggandakan, memodifikasi, memproduksi, menggunakan baik sebagian
maupun seluruh karya orang lain tanpa mendapatkan izin dari pemegang hak cipta.
(4) Kredit publikasi yang diperoleh Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
harus dapat dipertanggungjawabkan, dan benar-benar mencerminkan kontribusi
ilmiah atau profesional yang telah dilakukan atau di mana mereka ikut berpartisipasi.
Kepemilikan atas posisi struktural institusional, misalnya kepala bagian atau
pemimpin lembaga, tidak membenarkan pencantuman nama yang bersangkutan bila ia
memang tidak berkontribusi nyata dalam penelitian atau penulisan.
(5) Kontribusi minor dalam penelitian dan penulisan yang dipublikasikan
harus diakui dengan benar, hingga pada catatan kaki dan kata pengantar.
Mahasiswa atau orang yang dibimbing tetap harus didaftar sebagai pengarang atau
anggota tim pengarang bila publikasi tersebut merupakan karyanya. Artikel yang
secara substansial disusun berdasarkan skripsi, tesis dan atau disertasi
mahasiswa tetap harus mencantumkan nama mahasiswa tersebut.
BAB X
PEKERJAAN DAN
PENELITIAN DI BIDANG FORENSIK
Pasal 53
ATURAN HUKUM NASIONAL DAN KOMITMEN TERHADAP KODE ETIK
Psikologi forensik adalah bidang psikologi yang berkaitan dan atau
diaplikasikan dalam bidang hukum. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang
menjalankan tugas forensik memahami aturan hukum yang berlaku dan implikasinya
terhadap peran dan wewenang mereka. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
menyadari adanya kemungkinan konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan
informasi dan pendapat, dengan keharusan mengikuti aturan hukum yang ditetapkan
sesuai sistem hukum yang berlaku. Psikolog dan atau ilmuwan Psikologi berusaha
menyelesaikan konflik ini dengan menunjukkan komitmen terhadap kode etik dan
mengambil langkah-langkah untuk mengatasi konflik ini dalam cara-cara yang
dapat diterima.
Pasal 54
KOMPETENSI DAN KEWENANGAN
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi yang bekerja di bidang psikologi forensik harus mendasarkan
pekerjaannya pada kode etik, terutama berkenaan dengan pengetahuan yang sesuai
khususnya untuk bidang ini, serta keterbatasan kompetensi atau wilayah yang ditekuninya
dan harus dipastikan dapat dipertanggungjawabkan menurut keahliannya.
(2)
Penelitian dan atau
penanganan kasus di bidang psikologi forensik/hukum perlu mempertimbangkan
keahlian dan kompetensi. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat melakukan
penelitian di bidang forensik
secara umum tetapi tidak terkait
langsung dengan penanganan kasus di bidang psikologi forensik
(3)
Praktek psikologi
forensik adalah penanganan kasus forensik terutama yang berkaitan dengan
psikodinamika baik yang terkait ataupun tidak dengan penelitian. Penanganan
kasus ini hanya dapat dilakukan oleh psikolog. Praktek Psikologi forensik
tersebut meliputi pelaksanaan asesmen, evaluasi psikologis, penegakan diagnosa,
konsultasi dan terapi psikologi serta
intervensi psikologi lain dan hal-hal lain dalam kaitannya dengan proses
hukum (misalnya evaluasi psikologis bagi pelaku atau korban kriminal; sebagai
saksi ahli; evaluasi kompetensi untuk hak pengasuhan anak; program asesmen,
konsultasi dan terapi di lembaga pemasyarakatan, mediasi konflik).
(4)
IPsikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi memberikan laporan tertulis
mengenai hasil penelitian forensik, sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah
untuk mendukung pernyataan atau kesimpulannya. Bila tidak dilakukan pemeriksaan
menyeluruh karena keadaan tidak memungkinkan, Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi menjelaskan keterbatasan yang ada, serta melakukan langkah-langkah
untuk membatasi implikasi dari kesimpulan atau rekomendasi yang dibuatnya.
(5)
Psikolog memberikan
laporan tertulis atau lisan mengenai hasil penemuan forensik, atau membuat
pernyataan karakter psikologi seseorang, hanya sesudah ia melakukan pemeriksaan
terhadap pribadi bersangkutan sesuai dengan kaidah ilmiah dan konsep psikologi
klinis, untuk mendukung pernyataan atau kesimpulannya. Bila tidak dilakukan
pemeriksaan menyeluruh karena keadaan tidak memungkinkan, Psikolog menjelaskan
keterbatasan yang ada, serta melakukan langkah-langkah untuk membatasi
implikasi dari kesimpulan atau rekomendasi yang dibuatnya.
Pasal 55
PERNYATAAN SEBAGAI SAKSI AHLI/ TESTIMONI
(1)
Psikolog dalam
memberikan kesaksian sebagai saksi ahli harus menyusun hasil penemuan forensik
atau membuat pernyataan dari karakter psikologi seseorang dan memakai aturan
hukum yang berlaku. Bila kemungkinan terjadi konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan
pendapat dan keharusan mengikuti aturan hukum yang ditetapkan dalam kasus di
pengadilan, psikolog berusaha menyelesaikan konflik ini dengan menunjukkan
komitmen terhadap Kode Etik dan mengambil langkah-langkah untuk mengatasi
konflik dengan cara-cara yang bisa diterima.
(2)
Bila harus memberikan kesaksian,
atau menyampaikan pendapat selaku saksi ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh
memang diizinkan oleh aturan hukum yang berlaku; Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi harus tetap dapat bersikap profesional dalam memberikan pandangan
serta menjaga atau meminimalkan terjadinya konflik antara berbagai pihak.
Pasal 56
PERAN MAJEMUK DAN PROFESIONAL PSIKOLOG DAN ATAU ILMUWAN
PSIKOLOGI
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi harus mengindari untuk menjalankan
peran majemuk. Bila peran majemuk terpaksa dilakukan kejelasan masing-masing
peran harus ditegaskan sejak awal dan tetap berpegang teguh pada azas
profesionalitas, obyektivitas serta mencegah dan meminimalkan kesalahpahaman. Hal-hal yang harus diperhatikan bila peran majemuk terpaksa dilakukan :
(1)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi menghindar untuk melakukan peran majemuk dalam hal forensik,
apalagi yang dapat menimbulkan konflik. Bila peran majemuk terpaksa dilakukan,
misalnya sebagai konsultan atau ahli serta menjadi saksi di pengadilan,
kejelasan masing-masing peran harus ditegaskan sejak awal bagi Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi, serta pihak-pihak terkait, untuk mempertahankan
profesionalitas dan objektivitas, serta mencegah dan meminimalkan
kesalahpahaman pihak-pihak lain sehubungan dengan peran majemuknya.
(2)
Psikolog dan atau
Ilmuwan Psikologi yang menjalin hubungan profesional sebelumnya dengan orang yang menjalani
pemeriksaan tidak terhalangi untuk memberi kesaksian, atau menyampaikan
pendapatnya selaku saksi ahli yang melakukan pemeriksaan, sejauh diijinkan oleh
aturan hukum yang berlaku. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus tetap
dapat bersikap profesional dalam memberikan pandangan serta menjaga atau
meminimalkan terjadinya konflik antara berbagai pihak.
(3)
Ilmuwan Psikologi dan
Psikolog mempunyai kewajiban untuk memahami dan menjalankan pekerjaan sesuai
dengan kode etik dan penerapannya. Kurang dipahaminya kode etik tidak dapat
menjadi alasan untuk mempertahankan diri ketika melakukan kesalahan atau
pelanggaran.
BAB XI
ASESMEN
Pasal 57
DASAR ASESMEN
Asesmen Psikologi adalah dilaksanakannya prosedur
observasi, wawancara, pemberian satu atau seperangkat instrumen atau alat tes
yang bertujuan untuk melakukan penilaian dan atau pemeriksaan psikologi.
(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi melakukan observasi,
wawancara, penggunaan alat instrumen tes sesuai dengan kategori yang ditetapkan
untuk membantu psikolog melakukan pemeriksaan psikologis, laporan hasil dan
saran, termasuk kesaksian forensik yang memadai mengenai karakteristik
psikologis seseorang hanya setelah Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
melakukan pemeriksaan kepada individu yang bersangkutan untuk membuktikan
dugaan diagnosis yang ditegakkan.
(2) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam
membangun hubungan kerja wajib membuat kesepakatan dengan
lembaga/institusi/organisasi tempat bekerja mengenai hal–hal yang berhubungan
dengan masalah pengadaan, pemilikan, penggunaan dan penguasaan sarana instrumen
/ alat asesmen.
(3) Bila usaha asesmen yang dilakukan Psikolog dan
atau Ilmuwan Psikologi dinilai tidak bermanfaat Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi tetap diminta mendokumentasikan usaha yang telah dilakukan tersebut.
Pasal 58
PENGGUNAAN
ASESMEN
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi
menggunakan teknik asesmen psikologi, wawancara atau observasi, pemberian satu
atau seperangkat instrumen tes dengan cara tepat mulai dari proses adaptasi,
administrasi, penilaian atau skor, menginterpretasi untuk tujuan yang jelas
baik dari sisi kewenangan sesuai dengan taraf jenjang pendidikan dan kompetensi
yang disayratkan, penelitian, manfaat dan teknik penggunaan. Hal-hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan
proses asesmen adalah :
(1) Konstruksi Tes : Validitas dan Reliabilitas.
a) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi menggunakan
instrumen asesmen yang jelas validitas dan reliabilitasnya. Instrumen asesmen
ditetapkan hanya dapat digunakan sesuai dengan populasi yang diujikan pada saat
pengujian validitas dan reliabilitas.
b) Jika instrumen asesmen yang digunakan belum diuji
validitas dan reliabilitasnya. Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus
menjelaskan kekuatan dan kelemahan dari instrumen tersebut serta
interpretasinya.
c) IPsikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam
mengembangkan instrumen dan teknik asesmen harus menggunakan prosedur
psikometri yang tepat, pengetahuan ilmiah terkini dan profesional untuk desain
tes, standardisasi, validasi, penyimpangan dan penggunaan.
(2) Tes dan Hasil tes yang Kadaluarsa :
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tidak
mendasarkan keputusan asesmen, intervensi
atau saran dari data hasil tes yang sudah kadaluarsa untuk digunakan pada saat
sekarang. Dalam kondisi relatif konstan hasil tes dapat berlaku untuk 2 tahun, namun dalam kondisi atau keperluan khusus
harus dilakukan pengetesan kembali.
(3) Administrasi dan Kategori Tes
Administrasi asesmen psikologi adalah pedoman
prinsip dasar yang harus dipatuhi dalam melakukan proses asesmen psikologi.
Termasuk dalam proses asesmen psikologi
adalah observasi, wawancara dan pelaksanaan psikodiagnostik.
Kategori alat tes dalam Psikodiagnostik
menurut APA :
a) Level A : Tes yang disusun untuk individu dan
kelompok yang tidak bersifat klinis dan tidak membutuhkan keahlian dalam
melakukan administrasi dan interpretasi. Tes ini dapat dilakukan oleh siapa
saja (non psychologist) (termasuk
dalam kategori ini adalah vocational
proficiency test).
b) Level B: Tes yang membutuhkan beberapa
pengetahuan tentang konstruksi tes untuk penggunaannya dan didukung oleh pengetahuan
dan pendidikan psikologi seperti statistik, perbedaan individu dan bimbingan
konseling. (termasuk dalam kategori ini tes inteligensi umum dan inventori)
c) Level C : Tes yang membutuhkan pemahaman tentang
testing dan didukung dengan pendidikan psikologi standar psikolog dengan pengalaman
satu tahun disupervisi oleh psikolog dalam menggunakan alat tersebut.
(4)
Asesmen yang dilakukan oleh orang yang tidak kompeten/qualified
Asesmen psikologi perlu dilakukan oleh
pihak-pihak yang memang berkualifikasi, perlu dihindari untuk menggunakan orang
atau pekerja yang tidak memiliki kualifikasi memadai. Untuk mencegah asesmen
psikologi oleh pihak yang tidak kompeten :
a) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dapat
menawarkan bantuan jasa asesmen
psikologi kepada professional
lain termasuk Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi lain.
b) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi tersebut
harus secara akurat mendeskripsikan tujuan, vailiditas, reliabilitas, norma
termasuk juga prosedur penggunaan dan kualifikasi khusus yang mungkin
diperlukan untuk menggunakan instrumen tersebut.
c) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang
menggunakan bantuan jasa asesmen psikologi dari Psikolog dan atau Ilmuwan
Psikologi lain untuk memperlancar pekerjaannya ikut bertanggung jawab terhadap
penggunaan instrumen asesmen secara tepat termasuk dalam hal ini penerapan,
skoring dan penterjemahan instrumen tersebut.
Pasal 59
INFORMED CONCENT DALAM ASESMEN
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus
memperoleh persetujuan untuk melaksanakan asesmen, evaluasi, intervensi atau
jasa diagnostik lain sebagaimana yang dinyatakan dalam standar informed consent, kecuali jika
a) pelaksanaan asesmen diatur oleh peraturan
pemerintah atau hukum;
b) adanya persetujuan karena pelaksanaan asesmen
dilakukan sebagai bagian dari kegiatan pendidikan, kelembagaan atau orgainsasi
secara rutin misal : seleksi, ujian
c) pelaksanaan asesmen digunakan untuk mengevaluasi
kemampuan individu yang menjalani pemeriksaan psikologis yang digunakan untuk pengambilan keputusan dalam suatu
pekerjaan atau perkara.
Pasal 60
INTERPRETASI HASIL ASESMEN
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi dalam
menginterpretasi hasil asesmen psikologi harus mempertimbangkan berbagai faktor
dari instrumen yang digunakan, karakteristik peserta asesmen seperti keadaan
situasional yang bersangkutan, bahasa dan perbedaan budaya yang mungkin kesemua
ini dapat mempengaruhi ketepatan interpretasi sehingga dapat mempengaruhi
keputusan.
Pasal 61
PENYAMPAIAN DATA DAN
HASIL ASESMEN
(1)
Data asesmen Psikologi
adalah data alat/instrument psikologi yang berupa data kasar, respon terhadap
pertanyaan atau stimulus, catatan serta rekam psikologis. Data asesmen ini
menjadi kewenangan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan
pemeriksaan. Jika diperlukan data asesmen dapat disampaikan kepada sesama
profesi untuk kepentingan melakukan tindak lanjut bagi kesejahteraan individu
yang menjalani pemeriksaan psikologi.
(2)
Hasil asesmen adalah
rangkuman atau integrasi data dari seluruh proses pelaksanaan asesmen. Hasil
asesmen menjadi kewenangan Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi yang melakukan
pemeriksaan dan hasil dapat disampaikan kepada pengguna jasa. Hasil ini juga
dapat disampaikan kepada sesama profesi, profesi lain atau pihak lain
sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum.
(3) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi harus
memperhatikan kemampuan
pengguna jasa dalam menjelaskan hasil asesmen
psikologi. Hal yang harus
diperhatikan
adalah kemampuan bahasa dan istilah Psikologi yang dipahami
pengguna jasa.
Pasal 62
MENJAGA ALAT,
DATA DAN HASIL ASESMEN
(1) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib menjaga
kelengkapan dan keamanan instrumen/alat tes psikologi, data asesmen psikologi
dan hasil asesmen psikologi sesuai dengan kewenangan dan sistem pendidikan yang
berlaku, aturan hukum dan kewajiban yang telah tertuang dalam kode etik ini.
(2) Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi wajib menjaga
kelengkapan dan keamanan data hasil asesmen psikologi sesuai dengan kewenangan
dan sistem pendidikan yang berlaku yang telah tertuang dalam kode etik
ini.
(3)
Psikolog dan atau Ilmuwan Psikologi mempunyai hak kepemilikan sesuai
dengan kewenangan dan sIstem pendidikan yang berlaku serta bertanggungjawab
terhadap alat asesmen psikologi yang ada di instansi / organisasi tempat dia
bekerja.
BAB XII
TERAPI
Pasal
63
KUALIFIKASI TERAPIS
(1)
Terapis adalah psikolog yang memiliki
kompetensi dan kualifikasi untuk menjalankan jenis terapi yang akan dilaksanakan secara mandiri dan atau masih
dalam supervisi untuk melaksanakannya sesuai dengan kaidah pelaksanakan terapi
tersebut.
(2)
Terapis adalah psikolog yang memiliki
kemampuan untuk menjalankan keahliannya dengan mengutamakan dasar-dasar profesional
dalam memberikan jasa terapi kepada semua pihak yang membutuhkan dan mampu
bertanggung jawab untuk menghindari dampak buruk akibat proses terapi yang
dilaksanakannya terhadap klien atau pasien.
(3)
Yang dimaksud dengan sikap profesional adalah
senantiasa mengandalkan pada pengetahuan yang bersifat ilmiah dan bertanggung jawab
dalam pelaksanaannya serta senantiasa mempertahankan dan meningkatkan derajat
kompetensinya dalam menjalankan praktik Psikologi
Pasal
64
INFORMED CONSENT dalam TERAPI
(1)
Psikolog wajib menghargai hak pengguna jasa
atau praktik psikologi untuk melibatkan diri atau tidak melibatkan diri dalam
proses terapi sesuai dengan azas kesediaan. Oleh karena itu sebelum terapi
dilaksanakan, psikolog sebagai terapis perlu mendapatkan persetujuan tertulis (Informed
Consent) dari orang yang menjalani pemeriksaan psikologis, setelah mendapatkan
informasi yang perlu diketahui terlebih dahulu.
(2)
Isi dari Informed
Consent dapat bervariasi tergantung
pada jenis tindakan terapi yang akan dilaksanakan, tetapi secara umum
menunjukkan bahwa orang yang menjalani pemeriksaan psikologi yang akan
menandatangani Informed Consent tersebut
memenuhi persyaratan sbb:
a) Mempunyai kemampuan untuk menyatakan persetujuan,
b) Telah diberi informasi-informasi yang signifikan mengenai prosedur terapi
c) Secara bebas dan tidak dipengaruhi
dalam menyatakan persetujuannya
(3) Informed Consent didokumentasikan sesuai prosedur yang tetap. Hal-hal
yang perlu diinformasikan sebelum persetujuan terapi ditandatangani oleh orang
yang akan menjalani terapi adalah
sebagai berikut:Hal-hal yang perlu diantisipasi tentang terapi adalah:
a. proses terapi,
b. tujuan yang akan dicapai,
c. biaya,
d. keterlibatan pihak ketiga jika diperlukan,
e. batasan dari kerahasiaan
f. dan memberi kesempatan pada orang yang akan menjalani
terapi untuk mendiskusikannya sejak awal
(4) Hal-hal yang berkaitan dengan sifat terapi
seperti kemungkinan adanya sifat
tertentu yang dapat berkembang dari terapi, resiko yang potensial muncul,
psikoterapi lain sebagai alternatif dan kerelaan untuk berpartisipasi dalam
proses terapi
(5) Jika terapis atau psikolog masih dalam pelatihan dan
dibawah supervisi, hal ini perlu diberitahukan kepada orang yang akan menjalani
terapi dan hal ini harus menjadi bagian dari prosedur informed consent
Pasal 65
TERAPI YANG MELIBATKAN PASANGAN ATAU KELUARGA
Ketika Psikolog memberikan jasa terapi pada beberapa
orang yang memiliki hubungan keluarga atau pasangan (misal : suami istri, significant others, atau orangtua dan
anak) maka perlu diperhatikan beberapa prinsip dan klarifikasi mengenai hal-hal
sbb:
a) Siapa yang menjadi pengguna jasa praktik Psikologi
tersebut, peran dan hubungan psikolog bagi masing-masing orang yang terlibat
dan atau dilibatkan dalam proses terapi
b) Kemungkinan penggunaan jasa dan informasi yang
diperoleh dari masing-masing orang atau keluarga yang terlibat dalam proses
terapi dengan memperhatikan azas kerahasiaan.
(Lihat pasal 19 dan 20 tentang Kerahasiaan)
c) Jika secara jelas psikolog harus bertindak dalam peran yang bertentangan
(misal sebagai terapis keluarga dan kemudian menjadi saksi untuk salah satu
pihak dalam kasus perceraian), psikolog perlu mengambil langkah dalam
menjelaskan atau memodifikasi, atau menarik diri dari peran-peran yang ada
secara tepat. (Lihat pasal 12 tentang
Hubungan Majemuk dan pasal 52 tentang Peran Majemuk dalam Forensik)
Pasal 66
TERAPI KELOMPOK
Ketika Psikolog memberikan jasa praktik psikologi dan terutama terapi pada
beberapa orang dalam suatu kelompok, psikolog harus menjelaskan peran dan
tanggung jawab semua pihak serta batasan kerahasiaannya.
Pasal 67
PEMBERIAN TERAPI BAGI YANG MENJALANI
TERAPI SEBELUMNYA
Psikolog saat memutuskan untuk menawarkan atau memberikan jasa kepada orang
yang akan menjalani terapi yang sudah pernah mendapatkan terapi dari sejawat
psikolog lain, harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
(1)
Psikolog tersebut perlu
berhati-hati dalam mempertimbangkan keberpihakan kepada kesejahteraan orang
yang menjalani proses terapi serta menghindari potensi konflik dengan psikolog
yang sebelumnya telah memberikan jasa terapi.
(2)
Psikolog pelu
mendiskusikan isu perawatan atau terapi dan kesejahteraan orang yang menjalani
terapi dengan pihak lain yang mewakili orang yang menjalani terapi tersebut
dalam rangka meminimalkan resiko kebingungan dan konflik.
(3)
Psikolog
mengkomunikasikan kepada psikolog
pemberi jasa praktik sebelumnya jika memungkinkan dan melanjutkan secara hati-hati
serta peka pada isu-isu terapeutik.
Pasal 68
PEMBERIAN TERAPI KEPADA MEREKA YANG
PERNAH TERLIBAT
KEINTIMAN/KEAKRABAN
SEKSUAL
(1)
Psikolog tidak terlibat
keintiman / keakraban seksual dengan orang yang sedang menjalani pelayanan
terapi dari psikolog tersebut.
(2)
Psikolog tidak terlibat
dalam keintiman seksual dengan orang yang diketahui memiliki hubungan saudara,
keluarga atau significant others dari
orang yang akan diberi terapi dan psikolog juga tidak diperkenankan mengakhiri
terapi untuk alasan agar dapat terlibat dalam keintiman/keakraban dengan
keluarga dan atau orang-orang signifikan lainnya.
(3)
Psikolog tidak menerima
dan atau memberikan terapi bagi orang yang pernah terlibat keintiman/keakraban
seksual dengannya.
(4)
Psikolog tidak terlibat
keintiman / keakraban seksual dengan mantan orang yang pernah di terapi
setidaknya 2 (dua) tahun dari penghentian dan
atau pengakhiran terapi kecuali dalam situasi yang sangat tidak lazim
dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan sebagai hal yang tidak bersifat
eksploitasi terhadap faftor-faktor yang relevan, termasuk hal-hal sbb:
·
Sejumlah waktu telah
berlalu sejak penghentian atau pengakhiran terapi
·
Sifat, jangka waktu dan
intensitas terapi
· Situasi
kondisi penghentian atau pengakhiran
· Riwayat
pribadi orang yang menjalani terapi
·
Status mental
klien/pasien pada saat ini
·
Kemungkinan yang
lebih buruk pada klien atau pasien
·
Adanya kecerobohan pernyataan
atau tindakan psikolog selama berjalannya terapi yang mengundang kemungkinan
terjadinya hubungan romantik atau seksual dengan orang yang sedang menjalani
terapi.
Pasal 69
PENGHENTIAN SEMENTARA
TERAPI
Psikolog saat menyepakati kontrak terapi dengan orang
yang menjalani pemeriksaan psikologi sehingga
terjadi hubungan profesional yang bersifat terapeutik, maka psikolog tersebut
senantiasa berusaha menyiapkan langkah-langkah demi kesejahteraan orang yang
menjalani terapi termasuk apabila terjadi hal-hal yang terpaksa mengakibatkan
terjadinya penghentian terapi dan atau pengalihan kepada sejawat psikolog lain
sebagai rujukan. (lihat pasal 18 tentang Penghentian Jasa dan Praktik Psikologi)
Pasal 70
PENGHENTIAN TERAPI
(1) Psikolog wajib mengakhiri terapi ketika orang yang
menjalani terapi dengan sangat jelas sudah tidak membutuhkan lagi dan atau
tidak memperoleh keuntungan lagi dari terapi tersebut dan atau bahkan akan
dirugikan jika terapi tetap berlangsung
(2) Psikolog dapat mengakhiri terapi jika mengancam dan
atau membahayakan bagi orang yang menjalani terapi dan atau orang lain yang
memiliki hubungan dengan orang yang menjalani terapi
(3) Sebelum pengakhiran pemberian terapi, Psikolog
memberikan konseling pendahuluan dan
atau menyarankan pemberi jasa alternatif lainnya yang sesuai kebutuhan orang
yang menjalani terapi, kecuali jika kondisi initidak memungkinkan .
PENUTUP
Kode Etik Psikologi Indonesia ini disusun secara terperinci sehingga sudah
merupakan satu kesatuan untuk dijadikan Pedoman Pelaksanaan Kegiatan
Profesional bagi Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, yang keberadaannya sejak
Kongres I Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia tahun 1979, yang dievaluasi nilai
kegunaannya sesuai dengan perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia,
melalui Kongres II, III, IV, V, VI, VII
Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia dan Kongres VIII, IX dan X Himpunan Psikologi
Indonesia.
Disahkan di : Surakarta
Tanggal : Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar